I.
MUKADDIMAH
Ada tiga
peristiwa yang dirasakan sangat penting oleh setiap orang, yaitu peristiwa
kelahiran, perkawinan dan kematian. Kelahiran bukan saja penting bagi bayi yang
dilahirkan tetapi juga penting bagi ibu yang melahirkan, bagi ayahnya dan bagi
keluarganya. Kelahiran bukan saja mendatangkan kebahagiaan tetapi juga dapat
mempengaruhi jalannya sejarah peradaban manusia. Perkawinan juga bukan hanya
dirasakan penting oleh kedua mempelai,
tetapi juga oleh kedua keluarga besar mempelai. Kematian juga sangat menarik
perhatian. Banyak orang yang terbawa hanyut dalam perasaan sedih dan haru
sebagai akibat dari peristiwa kematian, sekurang kurangnya adalah keluarga dan
handai taulannya.
Peristiwa
Kelahiran, Pernikahan maupun Kematian dampak psikologisnya kesemuanya berada
dalam lingkup keluarga. Yang lebih merasakan kebahagiaan dan kesedihan adalah
keluarga, demikian juga yang akan terkait perubahan jalannya sejarah terutama
adalah keluarga.
Keluarga
merupakan kumpulan dari individu individu yang satu sama lain terikat oleh
sistem kekeluargaan, yang dibangun melalui proses perkawinan. Pilar utama
keluarga adalah suami isteri atau ayah dan ibu, dimana dari sana berkembang
menjadi keluarga besar.
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UUP Pasal.1)
Perkawinan dapat
disebut sebagai menyatukan dua keunikan. Perbedaan watak, karakter, selera,
pengetahuan dan lain lain dari dua orang (suami isteri) kemudian disatukan
dalam rumah tangga, hidup bersama dalam waktu yang lama. Sehingga ada pasangan
yang cepat menyatu, ada yang lama baru bisa menyatu, ada yang kadang kadang
menyatu kadang kadang bertengkar dan ada yang selalu bertengkar tetapi mereka
tidak sanggup berpisah. Hanya ditempat tidur mereka menyatu hingga anaknya
banyak, tetapi diluar itu mereka selalu bertengkar.
Kehidupan
berumah tangga ibarat mengemudi bahtera ditengah samudera luas, terkadang
lautan terasa tenang dan nyaman, tetapi terkadang tanpa diduga tiba tiba datang
ombak besar menghantam sehingga bahtera menjadi oleng tak terkendali. Memasuki
lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan.
Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada saat memasuki jenjang
perkawinan. Akan tetapi setelah fase “impian indah” terlewati orang harus
menghadapi realita kehidupan, yaitu problem yang menghadang setiap saat.
Kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam lingkup keluarga selalu bersentuhan dengan problem
(masalah) sepanjang masa. Tidak ada seorangpun yang hidupnya terbebas sama
sekali dari problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justru terletak pada
kemampuan seseorang mengatasi problem. Dalam kehidupan berkeluarga problem akan
selalu muncul silih berganti tiada henti, dimulai dari problem penyesuaian
diri, problem aktualisasi diri, problem
pemenuhan kebutuhan ekonomi, problem pemenuhan kebutuhan kasih sayang
dan lain lain.
II. PROSES MEMBANGUN SEBUAH KELUARGA
Keluarga adalah merupakan
rujukan keberhasilan dan kebahagiaan seseorang. Mungkin saja dia gagal dalam
karir sosialnya, tetapi jika sukses dan bahagia dalam kehidupan keluarganya,
maka dia tetap dipandang sebagai orang
yang sukses. Sebaliknya seseorang yang sukses dalam karir sosialnya, tetapi
dalam kehidupan keluarganya berantakan, maka dia dipandang sebagai orang yang
gagal.
Membangun keluarga yang
bahagia dan sejahtera harus diprogram dan diusahakan secara terus menerus
semenjak dari memilih/menentukan pasangan hidup sampai pada saat menjalani
kehidupan rumah tangga.
Ada beberapa tahapan dalam
membangun sebuah keluarga :
1. Memilih Pasangan Hidup
Memilih/menentukan
pasangan calon isteri atau suami merupakan hal yang sangat penting dalam
membangun kehidupan keluarga. Memilih pasangan hidup yang tepat dan sesuai
dengan syari’at Islam sudah separuh dari suksesnya perkawinan.
Agama Islam
memberikan petunjuk tentang cara memilih isteri yang ideal yang dapat membawa
kemaslahatan dimasa depan. Walaupun diyakini bahwa pada hakekatnya jodoh itu
telah ditentukan oleh Allah SWT sama halnya dengan kelahiran, kematian, rizki
dan nasib seseorang. Akan tetapi Agama Islam memberikan peluang kepada manusia
untuk berikhtiyar dalam memilih pasangan hidupnya melalui pertimbangan
pertimbangan akal sehat agar dapat mencapai kebahagiaan yang dicita citakan.
Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan sebagai berikut ;
“Wanita itu
dinikahi karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya, maka pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya kalian beruntung”.
Dalam agama Islam
memilih pasangan hidup diutamakan kepada orang yang memiliki agama, karena
ajaran agama yang didalamnya mengandung nilai nilai akhlaqul karimah atau budi
pekerti luhur menuntun kepada manusia menuju keselamatan, kebahagiaan dan
ketenangan yang menjadi tujuan perkawinan.
Dalam memilih
pasangan hidup harus diperhatikan pula untuk mengenali karakteristik calon
pasangan, jangan sampai terjadi seperti membeli kucing dalam karung. Untuk
mengetahui sosok dan kualitas calon pasangan dapat diperoleh melalui
perjumpaan, melalui komunikasi lewat media atau melalui informasi yang akurat
dari seseorang yang dapat dipercaya kejujurannya.
Agama memang
membolehkan perkawinan kepada seseorang yang belum dikenal sama sekali, karena
semata mata mematuhi dan menghormati kemauan dan pilihan orang tua
2. Peminangan (khitbah)
Biasa kita kenal
dengan sebutan melamar, yaitu melamar kepada calon isteri oleh calon suami.
Melamar calon
isteri merupakan bagian pendahuluan dan rangkaian panjang dalam rangka
membangun kehidupan keluarga. Proses
melamar yang dilaksanakan sebelum akad nikah dimaksudkan untuk meminta
izin kepada fihak orang tua calon isteri (wali) agar perkawinannya mendapatkan
restu orang tua dan sekaligus mendekatkan hubungan antara kedua keluarga calon
mempelai.
Peminangan
(khitbah) tidak melahirkan akibat hukum, tetapi sebatas melahirkan akibat etis.
Artinya bahwa orang yang telah dipinang tetap bukan muhrim, statusnya masih
orang lain. Agama melarang meminang gadis yang sudah dipinang orang lain,
kecuali kalau pinangannya itu telah dibatalkan.
3. Pertunangan (tukar cincin)
Upacara
pertunangan merupakan pengukuhan dari peminangan. Artinya status pertunangan
tidak mengubah status hukum, seperti halnya dalam peminangan, yaitu tetap bukan muhrim. Upacara pertunangan
merupakan budaya masyarakat yang tidak diatur dalam agama. Sepanjang tidak berlebihan
dan tidak mengandung unsur haram maka upacara pertunangan dibolehkan. Upacara
pertunangan yang dilakukan secara terbuka bisa melahirkan suasana psikologis
terhadap masing masing calon pasangan.
4. Upacara Akad Nikah
Akad Nikah adalah rangkaian ijab
yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dan kabul yang diucapkan oleh mmpelai
pria atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Menurut syari’at
agama Islam akad nikah sangat sederhana, yakni terpenuhinya rukun nikah yang
terdiri dari calon mempelai laki laki dan perempuan, adanya wali nikah, adanya
dua orang saksi dan ijab qobul.
Bagi kedua mempelai dan kedua
orang tua masing masing, peristiwa akad nikah adalah merupakan peristiwa sakral
yang mengharukan dan membahagiakan. Bobot kesakralan upacara akad nikah berbeda
beda tergantung konsep budaya masyarakat setempat.
5. Walimatul ‘ursy atau resepsi
pernikahan
Upacara akad
nikah harus dilakukan secara terbuka dengan disaksikan minimal oleh dua orang
saksi.
Walimatul ‘ursy
atau resepsi pernikahan merupakan pengumuman telah berlangsungnya pernikahan.
Konsep walimatul
‘ursy atau resepsi pernikahan adalah memberikan do’a restu dan support kepada
pasangan mempelai agar mereka memulai hidup baru dengan penuh percaya diri.
Sejak saat
dilangsungkannya akad nikah maka statusnya berubah menjadi suami dan isteri,
mulailah keduanya memasuki gerbang rumah
tangga yang sesungguhnya. Masing masing dituntut memenuhi kewajiban
kewajibannya disamping memperoleh hak haknya sebagai suami/isteri.
III. PENCATATAN PERKAWINAN
Hukum Perkawinan di
Indonesia diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan mulai berlaku
secara efektif pada 1 Oktober 1975 setelah keluarnya PP No. 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU tersebut ditentukan
asas asas mengenai perkawinan dan berbagai hal yang berhubungan dengan
perkawinan. Dalam penjelasan UU Perkawinan disebutkan antara lain sebagai
berikut ;
1. Membentuk Keluarga Bahagia dan Kekal
“Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (UUP Pasal.1).
Tujuan perkawinan menurut ajaran
Islam adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah warrohmah.
“Dan diantara
tanda tanda (kebesaran) Nya ialah Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar benar
terdapat tanda tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS Arrum :
21).
Perkawinan yang
dikaitkan dengan batas waktu tertentu, seperti kawin kontrak, kawin mut’ah dan
semisalnya jelas bertentangan dengan prinsip Undang Undang dan dilarang oleh
Agama.
2. Perkawinan harus dilakukan
menurut hukum Agama dan dicatat
“Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing Agamanya dan
kepercayaannya itu” (UUP Pasal 2 ayat (1).
Setiap perkawinan
harus dilaksanakan menurut ketentuan Agama yang dipeluknya. Bagi yang beragama
Islam, perkawinannya harus dilaksanakan menurut ketentuan syari’at Agama Islam.
Apabila perkawinannya tidak memnuhi syarat dan rukun yang ditetapkan dalam syari’at Islam maka
perkawinannya tidak sah.
Selanjutnya,
setiap peristiwa perkawinan harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. “Tiap
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku” (UUP Pasal 2 ayat (2).
Perkawinan yang
tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang, seperti kawin dibawah tangan adalah melanggar undang undang. Hubungan
suaki isteri itu tidak memiliki kepastian hukum dan dapat berakibat terhadap
anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Pencatatan
perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Penacatat Nikah
(PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA Kecamatan. Sedangkan bagi yang beragama
selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan
Sipil.
3. Asas monogami dan
mempersulit perceraian
“Pada azasnya
dalam suatu perkawinan seoran pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami” (UUP Pasal 3 ayat (1).
“Pengadilan dapat
memberi izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan” (UUP Pasal 3 ayat (2).
“Perceraian hanya
dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” (UUP Pasal 39 ayat
(1).
Pada dasarnya UUP
menganut asas monogami dan mempersulit perceraian. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya poligami dan perceraian secara sewenang wenang yang
dilakukan fihak suami, sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak hak isteri. UU Perkawinan
menerapkan asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari satu (poligami) maka harus mendapat izin dari Pengadilan
dengan terlebih dahulu ada persetujuan dari isteri/isteri isterinya.
Demikian pula
dalam hal perceraian harus dilakukan didepan sidang Pengadilan, setelah melalui
proses mediasi.
4. Kematangan calon suami
isteri
“Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua” (UUP Pasal 6 ayat (2).
“Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun” (UUP Pasal 7 ayat (1).
UU Perkawinan
menetapkan bahwa batas minimal usia kawin adalah 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita. Hal ini dimaksudkan agar calon suami isteri sudah matang
jiwa raganya, sehingga dapat membangun kehidupan rumah tangganya dengan baik,
tanpa berakhir dengan perceraian dan diharapkan mendapatkan keturunan yang baik
dan sehat.
Dalam Agama Islam
tidak secara tegas ditentukan batasan minimal usia kawin. Namun yang perlu
diperhatikan bahwa Rasulullah SAW menikah pada usia 25 tahun, oleh karena itu
usia kawin yang ideal sekitar usia 25 tahun.
IV. PERMASALAHAN DALAM RUMAH TANGGA
Setiap keluarga atau rumah tangga
memiliki problem yang spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi
batu sandungan atau hambatan dalam membangun keluarga hampir sama
karakteristiknya, yaitu persepsi terhadap rizki (ekonomi), egoisme dan
perkembangan kejiwaan pasangan.
- Persepsi
terhadap rizki (ekonomi) keluarga
Mengenai saluran
rizki bisa menjadi problem keluarga ketika seseorang memandang bahwa rizki itu
hanya miliknya, bukan milik keluarga. Suami yang sukses kemudian menjadi gede
rumasa (GR), maksudnya merasa dirinya sangat penting dengan memandang rendah
isterinya yang hanya menerima pemberian suami. Ketika saluran rizki pindah
lewat isteri, kemudian isteri juga menjadi GR, menganggap sepele kepada suami.
Hal inilah yang sering menjadi problem dalam keluarga walaupun rizki melimpah
dan harta kekayaannya banyak.
Sebaliknya,
kesulitan ekonomi keluarga juga dapat memicu keretakan dalam membangun
keluarga, karena masing masing pihak merasa bahwa kehidupan keluarganya hanya
membuahkan penderitaan.
- Sifat egois
dan harga diri yang berlebihan
Dalam kehidupan
rumah tangga sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah keadaan yang
normal menjadi tidak normal, masalah yang sebenarnya biasa biasa saja,
proporsional, dipersepsi sebagai tidak menghargai, menyakiti dan sebagainya,
sehingga merasa ada yang ngerjain dan ada yang merasa menjadi korban. Ada
isteri atau suami yang merasa selalu disakiti padahal tidak ada yang
menyakitinya, merasa dihina dan direndahkan harga dirinya padahal tidak ada
yang melakukannya. Ujung ujungnya menjadi stress.
- Perkembangan
kejiwaan pasangan
Hubungan personal
suami isteri dalam keluarga berlangsung sangat sering, lama dan peka. Hubungan
itu kemudian bisa menumbuhkan kejiwaan mereka secara seimbang, tetapi bisa juga
berat sebelah. Hubungan interpersonal suami isteri itu mengandung muatan
partner seksual, partner sosial dan persahabatan.
Keluarga baru (keluarga yang
baru menikah) adalah pasangan yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan
situasi baru dalam keluarga, yang sebelumnya
belum pernah dialami. Selain itu mereka harus mempersiapkan diri sebagai
orang tua yang bertanggung jawab. Keluarga baru sangat rawan terhadap gangguan
yang dapat merusak keutuhan keluarga, baik yang datang dari dalam (dari diri
suami isteri), maupun yang datang dari luar (fihak ketiga, seperti mertua,
mantan pacar dll). Oleh karena itu bagi calon pasangan yang akan memasuki
jenjang perkawinan dianjurkan untuk mempelajari dan memahami pengetahuan
tentang kerumah tanggaan secara mendalam sebagai bekal dalam meniti kehidupan
berumah tangga.
V. MENGATASI KRISIS DALAM RUMAH TANGGA
Dalam mengatasi krisis
keluarga / rumah tangga lebih diutamakan bersifat preventip, artinya melakukan
ikhtiyar semaksimal mungkin untuk mencegah timbulnya krisis dalam keluarga / rumah
tangga.
- Menanamkan dan mengamalkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Jaminan
dari Allah bahwa barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah akan
menjadikannya jalan keluar dari segala kesulitan dan Allah akan memberikan
rizki dari jalan yang tidak disangka sangka. (QS.65 :2).
- Masing masing pasangan menerapkan sikap akhlaqul karimah (perilaku
yang terpuji), antara lain ;
a
Tasamuh (toleran/tenggang
rasa)
Yaitu suatu sikap
mau menerima dan menghormati perbedaan yang ada pada diri masing masing dari
pasangan. Perbedaan bisa terjadi dalam hal latar belakang pendidikan, kultur
(budaya asal), pengetahuan agama, pisik, materi dll
b.
Ta’awwun (Solider/berbagi
rasa)
Yaitu suatu sikap
saling membantu, saling mengisi kekurangan yang lain, rela berkorban untuk yang
lain. Sikap bebagi rasa ini akan memperkokoh kebersamaan, senasib
sepenanggungan dalam membangun dan memelihara keutuhan keluarga.
c.
Tarahum (sambung rasa)
Yaitu suatu sikap
saling menyayangi dan saling mengasihi. Yang disebutkan dalam Al Qur’an Mawaddah warrohmah, Mawaddah adalah
jenis cinta yang membara, cinta yang menggebu gebu, sedangkan rahmah adalah
jenis cinta yang lembut, penuh kasih sayang, siap berkorban dan siap melindungi
kepada yang dicintai.
Dengan berpegang teguh
kepada Taqwa dan Akhlaqul karimah Insya Allah kehidupan keluarga akan sakinah,
bahagia sejahtera lahir batin dan penuh dengan barokah.
Wallahul muwafiq ila aqwamith thorieq
Bandung, 20
September 2012
Title : PROBLEMATIKA KELUARGA PADA FASE AWAL PERNIKAHAN DAN PENANGGULANGANNYA
Description : I. MUKADDIMAH Ada tiga peristiwa yang dirasakan sangat penting oleh setiap orang, yaitu peristiwa kelahiran, perkawinan dan...
Description : I. MUKADDIMAH Ada tiga peristiwa yang dirasakan sangat penting oleh setiap orang, yaitu peristiwa kelahiran, perkawinan dan...
0 Response to "PROBLEMATIKA KELUARGA PADA FASE AWAL PERNIKAHAN DAN PENANGGULANGANNYA "
Posting Komentar